Pendidikan dengan kekerasan fisik masih menjadi perdebatan di sejumlah lingkungan sekolah di Indonesia.
Sebelumnya beredar video viral guru tendang murid, meski telah ada regulasi tegas, praktik tersebut tetap ditemukan di berbagai institusi pendidikan, baik formal maupun non-formal.
Beberapa kalangan masih memercayai bahwa tindakan keras dapat membentuk karakter anak yang kuat dan tahan banting.
Namun, pandangan itu kini mulai dipertanyakan seiring meningkatnya kesadaran akan pentingnya pendekatan pendidikan yang berbasis empati dan perlindungan psikologis.
Di sejumlah wilayah, terutama di pedesaan dan sekolah-sekolah semi-militer, masih terdapat metode pendidikan yang menggunakan kekerasan fisik sebagai bentuk disiplin.
Bentuk kekerasan ini bisa berupa pukulan ringan, cubitan, hingga perlakuan fisik yang membuat siswa mengalami trauma.
Para pelaku kerap beranggapan bahwa tindakan tersebut adalah bentuk kasih sayang demi membentuk mental tangguh pada anak-anak didik.
Di balik praktik tersebut, terdapat konsekuensi serius yang kerap tak terlihat secara kasat mata.
Studi psikologis menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan pendidikan yang keras lebih rentan mengalami gangguan emosional.
Beberapa di antaranya menunjukkan gejala seperti kecemasan berlebih, rendah diri, hingga kesulitan menjalin hubungan sosial yang sehat.
Di sisi lain, sebagian orang tua dan tokoh pendidikan masih membela metode keras ini dengan alasan “anak zaman sekarang terlalu manja” dan “mental lemah.”
Namun, pendekatan ini justru memperlihatkan pola pengulangan kekerasan dalam siklus pendidikan, di mana mereka yang dulu menjadi korban kini menjadi pelaku karena menganggap kekerasan adalah bagian normal dari proses belajar.
Fenomena ini menandakan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap pendekatan pendidikan yang masih mengandalkan kekerasan fisik.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menegaskan larangan terhadap praktik kekerasan dalam dunia pendidikan melalui berbagai regulasi.
Namun, implementasinya masih menemui tantangan besar, terutama pada institusi yang belum melakukan pembaruan sistem pendidikan secara menyeluruh.
Praktik ini tidak hanya bertentangan dengan semangat Merdeka Belajar, tetapi juga dapat menimbulkan efek domino terhadap penurunan kualitas psikologis peserta didik.
Sejumlah psikolog anak dan pakar pendidikan menyatakan bahwa membentuk mental tangguh tidak bisa dilakukan dengan cara yang merusak harga diri dan kenyamanan emosional anak.
Sebaliknya, lingkungan yang aman secara emosional, suportif, dan konsisten dalam menerapkan aturan jauh lebih efektif dalam membentuk pribadi yang tahan banting dan bertanggung jawab.
Tangguh tidak berarti kebal terhadap rasa sakit, tetapi mampu menghadapi tantangan dengan ketenangan dan kemampuan adaptasi yang sehat.
Pendidikan yang menekankan kekerasan fisik sering kali justru menumbuhkan rasa takut alih-alih rasa hormat.
Hal ini menciptakan suasana belajar yang menekan, bukan membangun.
Sebagian besar korban kekerasan fisik di sekolah enggan mengungkapkan pengalamannya karena takut akan konsekuensi sosial maupun akademik.
Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengikis rasa percaya diri dan menghambat potensi akademik maupun non-akademik siswa.
Ironisnya, kekerasan dalam pendidikan sering kali mendapat pembenaran dari norma budaya yang melegitimasi peran pendidik sebagai figur yang tak boleh dibantah.
Budaya “guru adalah orang tua kedua” kerap dijadikan dalih untuk membenarkan perlakuan keras, meskipun secara hukum dan etika hal tersebut sudah tak relevan.
Pemerintah dan lembaga perlindungan anak dituntut untuk memperkuat mekanisme pengawasan dan pelaporan atas kasus-kasus kekerasan di sekolah.
Penerapan sistem pendidikan yang berbasis pada pendekatan psikologis positif, seperti pendidikan karakter dan pembinaan empati, perlu diperluas hingga ke pelosok.
Pelatihan guru juga menjadi elemen penting dalam menciptakan perubahan budaya pendidikan.
Guru yang terlatih dalam pendekatan tanpa kekerasan terbukti lebih berhasil membangun hubungan yang produktif dengan peserta didik.
Penanaman nilai kedisiplinan bisa dilakukan melalui metode afirmatif yang mendidik anak untuk berpikir kritis dan mengambil tanggung jawab atas tindakannya, bukan melalui rasa takut.
Masyarakat sebagai pemangku kepentingan juga memiliki peran besar dalam mengubah narasi lama yang mengagungkan kekerasan sebagai jalan pintas pembentukan karakter.
Orang tua perlu dilibatkan dalam diskusi pendidikan berbasis perlindungan psikologis agar terjadi keselarasan antara rumah dan sekolah.
Ketahanan mental anak bukanlah hasil dari penderitaan yang ditoleransi, melainkan dari rasa aman dan dukungan yang konsisten.
Kekerasan dalam dunia pendidikan bukan hanya persoalan pelanggaran etik, tetapi juga masalah masa depan bangsa.
Generasi yang tumbuh dengan luka batin tidak akan mampu bersaing secara sehat dalam masyarakat yang menuntut kolaborasi dan empati.
Sebaliknya, generasi yang dibesarkan dalam lingkungan edukatif yang penuh penghargaan akan lebih siap menghadapi tantangan global dengan kecerdasan emosional yang kuat.
Dengan demikian, pertanyaan apakah pendidikan keras menciptakan mental tangguh atau luka batin bukan lagi dilema. Sudah waktunya dunia pendidikan Indonesia memutus siklus kekerasan dan mengedepankan pendekatan yang manusiawi dan berbasis pada bukti ilmiah.***