Kenapa Kekerasan Fisik Harus Dihindari di Dunia Akademik non Militer?

2 min read

Kenapa Kekerasan Fisik Harus Dihindari di Dunia Akademik non Militer

Kekerasan fisik di lingkungan akademik non-militer menjadi isu serius yang berpotensi merusak iklim pendidikan dan perkembangan karakter peserta didik.

Pasang Iklan Disini

Fenomena ini kerap tidak terlihat di permukaan, namun dampaknya sangat nyata dalam membentuk pola perilaku dan psikologis siswa maupun mahasiswa.

Berbeda dengan institusi militer, dunia pendidikan umum seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai dialog, empati, dan penyelesaian konflik tanpa kekerasan.

Sebelumnya dilansir dari incaberita, viral beredar video kekerasan yang dilakukan oleh oknum guru terhadap murid.

Tindakan kekerasan fisik dalam dunia akademik non-militer, baik dilakukan oleh sesama peserta didik maupun oleh tenaga pendidik, mencerminkan kegagalan sistem dalam membina lingkungan yang kondusif dan aman.

Alih-alih membentuk kedisiplinan, kekerasan fisik justru menimbulkan trauma psikologis yang membekas dalam jangka panjang.

Lembaga pendidikan sejatinya adalah ruang untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan keterbukaan berpikir, bukan tempat untuk memaksakan kepatuhan melalui rasa takut.

Beberapa kasus di Indonesia menunjukkan bahwa kekerasan fisik di sekolah atau kampus terjadi akibat minimnya pengawasan serta lemahnya budaya pelaporan.

Ketika peserta didik merasa takut untuk melapor karena khawatir akan mendapat stigma atau balasan, maka sistem pendidikan telah kehilangan esensi keadilannya.

Di sisi lain, sebagian pendidik masih menganggap kekerasan sebagai metode pembinaan yang sah, padahal pendekatan tersebut sudah tidak relevan dengan prinsip pendidikan modern.

Pendidikan masa kini menekankan pentingnya pendekatan yang berbasis empati, komunikasi terbuka, dan penghargaan terhadap martabat individu.

Dalam beberapa laporan kasus, pelaku kekerasan justru mendapatkan pembenaran dari lingkungan sekitar yang masih memegang budaya hierarki kaku.

Budaya senioritas ekstrem sering dijadikan alasan untuk melakukan kekerasan terhadap junior sebagai bagian dari “tradisi” atau “pembelajaran.”

Padahal, tradisi yang menormalisasi kekerasan merupakan bentuk kekeliruan kolektif yang mencederai misi pendidikan itu sendiri.

Sekolah dan kampus non-militer seharusnya menjadi tempat yang aman bagi setiap individu, tanpa ada rasa takut akan perlakuan fisik yang menyakitkan.

Berbagai penelitian juga telah mengungkap bahwa kekerasan fisik di dunia akademik berkorelasi dengan meningkatnya gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan.

Dalam konteks yang lebih luas, kekerasan fisik juga merusak relasi sosial di dalam institusi pendidikan karena memupuk rasa dendam, bukan rasa hormat.

Pihak otoritas pendidikan memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan mekanisme pencegahan dan penanganan yang tegas terhadap kekerasan fisik.

Salah satu pendekatan yang mulai diterapkan di beberapa sekolah progresif adalah membangun sistem konseling aktif dan pelatihan keterampilan resolusi konflik.

Dengan memberikan ruang bagi peserta didik dan pendidik untuk berdialog, banyak masalah interpersonal dapat diselesaikan tanpa harus berujung pada kekerasan.

Penting juga untuk mengintegrasikan pendidikan karakter dalam kurikulum sejak dini, agar nilai antikekerasan tumbuh secara konsisten.

Para pengambil kebijakan pendidikan pun harus menyusun regulasi yang tegas namun adil dalam menindak kekerasan fisik, tanpa pandang bulu.

Peran orang tua juga sangat krusial untuk mengawasi dan memberikan pemahaman kepada anak tentang pentingnya menghargai sesama tanpa kekerasan.

Jika semua pihak—dari guru, siswa, hingga orang tua dan pembuat kebijakan—memiliki visi bersama, maka upaya menghapus kekerasan fisik dari dunia akademik akan lebih efektif.

Tidak ada ruang untuk kekerasan dalam dunia pendidikan yang ingin melahirkan generasi pemimpin yang cerdas, beradab, dan berintegritas.

Dengan menghindari kekerasan, institusi pendidikan telah berkontribusi nyata terhadap pembangunan budaya damai dan demokratis di masyarakat luas.

Kekerasan fisik di dunia akademik non-militer bukan hanya pelanggaran etik, tetapi juga mencoreng misi luhur pendidikan yang seharusnya menjunjung tinggi martabat manusia.

Sudah saatnya lembaga pendidikan melakukan refleksi besar, meninjau kembali norma-norma internal, dan menempatkan keamanan serta kesejahteraan psikologis sebagai prioritas utama.

Membiarkan kekerasan berarti membenarkan budaya otoritarian dalam sistem pendidikan, yang seharusnya menjadi tempat lahirnya kebebasan berpikir dan keadilan sosial. Dengan menolak segala bentuk kekerasan fisik, dunia akademik turut mendorong tumbuhnya generasi yang kritis namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *